Karya:
Yosefina Viorensa
Margresi O. Mulyati
Kalsius B. Linggo
Herman Y. Agun
Pagi yang cerah, secerah wajahnya. Tasya, namanya. Ia sangat cantik, secantik perilaku dan tingkahnya. Ia anak pengusaha kaya. Sekarang ia kuliah.
“Brukk...,” Tasya menabrak seorang laki-laki saat ke kampus.
“Maaf ya, maaf,” kata Tasya.
“Ya, nggak apa-apa. Aku juga minta maaf,” jawab laki-laki itu.
“Aku Osta,” kata laki-laki itu.
“A... a... aku Tasya,” jawab Tasya terbata-bata.
“Kamu mau ke mana? Kok, terlihat buru-buru?”
“Aku mau ke kampus,” jawab Tasya.
“ Oh, aku juga mau ke kampus.”
Setelah mengobrol mereka pun berjalan bersama ke kampus dengan mobil Tasya. Motor Osta ditinggal, sebab kerusakannya lumayan parah.
“Kamu orang mana?” tanya Tasya.
“Aku orang sini, aku dari keluarga biasa saja,” terang Osta. “Ayah dan Ibuku sudah meninggal sejak aku kecil. Aku yatim piatu,” lanjut Osta.
“Oh, maaf, aku nggak tahu.”
“Tidak apa-apa,” jawab Osta.
Tak lama kemudian mereka sampai di kampus. Mereka pun turun dari mobil dan melangkah ke kampus.
“Boleh aku minta nomornya?” kata Osta
Tasya tersenyum. Ia kemudian membacakan nomornya.
Osta memutuskan menjemput Tasya di rumahnya hari itu. Perjalanan terasa sangat mengasyikkan. Tasya tersenyum bahagia bisa menikmati udara dengan leluasa.
“Makasih ya, untuk hari ini,” bisik Tasya.
Osta tersenyum.
“Sya, ...”
Tasya hanya tersenyum. Ia bisa menebak apa yang dikatakan Osta.
“Aku sepertinya jatuh cinta, Sya. Jatuh cinta kepadamu,” kata Osta.
Lagi-lagi Tasya tersenyum bahagia. Ia mengangguk pelan. Osta sangat bahagia.
“Osta, sebentar mampir ya,” ajak Tasya.
Rumah itu sangat mewah. Osta mulai deg-degan. Ia bisa menebak sambutan yang ia dapat nantinya. Ia menguatkan hatinya. Cinta menegakkan kepalanya. Benar saja, hal itu terjadi saat perkenalan pertama dengan ibunya.
“Ini Osta, Bu.”
“Pacar kamu?”
“Ya, Bu, aku pacar Tasya.”
“Orang tua kamu kerja apa?”
“Mereka meninggal sejak aku kecil. Aku yatim piatu,” terang Osta.
Suasana menjadi hening. Osta mematung mendengar perkataan Bu Meri. Tasya menagis. Ia berlari ke luar. Osta mengejarnya.
“Bruk...”
Tasya terpental jauh. Ia tidak bertahan. Darah mengalir deras dari tubuhnya. Osta tak kuasa menahan tangis. Penyesalan datang terlambat. Bu Meri terpukul atas kejadian itu. Bagaiamana lagi, waktu tak bisa kembali.
Editor || Marianus Hamse, S.Pd
Redaksi|| Stanislaus Bandut, S.Pd