Menunggu Hadiah Valentine Day
Aku menunggunya di pelataran sekolah. Pagi sekali, sebelum yang lain datang. Sesuai janji, ia tepat sekali. Seperti biasa, ia memberiku sapaan manis, manja, sebagai ciri khasnya: sebuah senyum manis yang menampakkan gigi gingsulnya. Seperti biasa pula, darahku berdesir melihatnya.
Ia kemudian melangkah ke arahku. Menarik tanganku ke pojok ruang. Darahku berdesir. Pompa jantungku mendebar. Pikiranku mulai tak terarah. Ada yang akan terjadi.
"Apa harus kuberi sekarang?" tanyanya lembut.
Aku menatapnya sejenak.
"Ya," kataku mantap.
Ia kemudian membuka jaketnya. Aku berusaha menolak untuk melihat. Seolah itu tabu. Aku memejamkan mata.
"Buka matamu," pintanya.
Aku sejenak terdiam. Kemudian membuka mata.
"Cepatlah, sebelum ada yang melihat," katanya lagi.
Aku terdiam. Ia menunjukkan sesuatu yang tak semestinya. Aku berdosa, sebab khayalku berbahaya.
"Cepat, aku malu," desaknya.
Aku gelagapan menahan rasa.
"Berikan padanya," katanya, sambil menyerahkan sebuah amplop merah muda. Diberikan kepada ia, yang disukainya selama ini, Rehan, teman sebangkuku.
Noa, 13 Februari 2023
Writer || Marianus Hamse, S.Pd, Gr
Redaksi || Stanislaus Bandut, S.Pd