Opini: Asa pada Pundak Para Calon Guru Penggerak Oleh Pius Pesau

Foto: Pius Pesau

 

Asa pada Pundak Para Calon Guru Penggerak

(Sebuah Opini)

Pius Pesau

CGP Angkatan 7

Kabupaten Manggarai Barat

 

   Tentu masih segar dalam ingatan kita pertanyaan ini, “Berapa jumlah guru yang tersisa?Ini adalah pertanyaan yang keluar dari mulut Kaisar Hirohito setelah  kota Hirosima dan Nagasaki dibumihanguskan oleh Amerika Serikat dan sekutunya pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Menariknya Sang Kaisar melontarkan pertanyaan ini di hadapan para jendral yang dia kumpulkan beberapa saat setelah bom tersebut meluluhlantahkan kedua kota tersebut. Pertanyaan ini sontak membuat para jenderal kaget. Dalam benak para jenderal harusnya yang Kaisar tanyakan adalah masih adakah tantara yang masih hidup? Pertanyaan sang Kaisar betul-betul membuat para jenderal bingung. Mendengar pertanyaan tersebut para jenderal kemudian menegaskan bahwa mereka ( para jenderal) masih bisa menyelamatkan nyawa sang Kaisar walaupun tanpa kehadiran seorang guru. Mendengar jawaban para jenderal tersebut kaisar kemuadian mengatakan bahwa,  Jepang sudah jatuh karena tidak belajar


    Kita boleh saja memiliki tentara dan senjata tetapi kita tidak memiliki pengetahuan mengenai bom yang dijatuhkan Amerika. Dia kemuadian melanjutkan, “Jepang tidak akan pernah dapat mengejar Amerika Serikat jika kita tidak belajar.” 


  Dia memerintahkan para jenderal agar mengumpulkan para guru yang tersisa karena hanya kepada gurulah kini Jepang bertumpu, bukan pada tantara atau senjata.


  Kisah di atas bagi saya adalah sebuah pengakuan yang sangat dalam akan pentingnya eksistensi guru dalam sebuah peradaban. Hirohito betul-betul sadar bahwa pengetahuan adalah harta tertinggi yang harus dimiliki oleh sebuah negara dalam mengejar ketertinggalan demi mencapai kemajuan. Pengetahuan haruslah diajarkan. Kita harus belajar agar memiliki pengetahuan. Pada titik inilah kehadiran seorang guru sangat dibutuhkan. Agar Jepang bisa memiliki pengetahuan terhadap bom yang dijatuhkan AS, maka pilihan satu-satunya adalah Jepang harus belajar.  


   Pertanyaan kita sekarang adalah guru yang seperti apa yang diharapakan agar dapat membawa sebuah negara pada kemajuan? Agar generasi sebuah negara memiliki pengetahuan yang mumpuni untuk dapat mengejar negara lain.

 

  Program Pendidikan Guru Penggerak (selanjutnya disebut PPGP) adalah jawaban yang ditawarkan pemerintah untuk menjawab pertanyaan di atas. Menurut hemat saya PPGP merupakan sebuah program yang dirancang khusus untuk menghasilkan guru-guru yang mampu membawa perubahan pada diri murid. Dengan mengikuti PPGP para Calon Guru Penggerak (CGP) yang nantinya akan menjadi Guru Penggerak (GP) diharapkan dapat tampil sebagai kataliastor perubahan pada satuan pendidikannya masing-masing. Dengan mengikuti PPGP kesadaran para guru akan panggilan jiwanya sebagai seorang guru dibangun kembali.

 

     PPGP dalam pandangan saya adalah wadah bagi para guru atau sekurang-kurangnya bagi para alumni dan kita para CGP untuk kembali melihat bahwa memilih menjadi guru bukanlah sebuah kebetulan. Program ini kembali menyadarkan kita bahwa menjadi guru bukanlah sebuah pelarian. PPGP menyadarkan kita bahwa menjadi guru adalah panggilan jiwa. Menjadi guru adalah cara kita untuk mengabdi kepada bangsa dan negara. Keutuhan kesadaran kita akan profesi kita sebagai guru inilah yang kemudian membuat kita menenggelamkan diri seutuhnya pada profesi mulia ini. Hemat saya kecintaan akan panggilan jiwa sebagai pendidik mendorong kita untuk memberi diri dan melayani murid kita dengan tulus hati.

 

    Berangkat dari kecintaan yang dalam terhadap profesi sebagai guru, maka kita terdorong dan terpanggil untuk selalu meningkatkan kualitas diri. Kita harus terus berubah sejalan dengan perubahan yang ada. “ Ukuran kecerdasan seseorang adalah kemampuannya untuk berubah”, demikian kata Albert Einstein. Kita harus menyingkirkan jauh-jauh dari benak kita perasaan sudah berada pada “zona nyaman”. Terus belajar dan berubah untuk meningkatkan kualitas diri adalah konsekuensi logis dari kecintaan kita terhadap panggilan jiwa kita selaku pendidik.


   Suatu ketika Sokrates didapati seseorang sedang belajar musik. Orang tersebut  kemudian berkata kepada Sokrates, “Apakah engkau tidak malu belajar di usia tua?”  Atas pertanyaan tersebut Sokrates menjawab,“ Aku merasa lebih malu menjadi orang yang bodoh di usia tua.” Pertanyaan yang sama bukan tidak mungkin juga ditanyakan kepada kita terkait keikutsertaan kita pada PPGP ini. Jawaban kita mungkin tidak seekstrim jawaban Sokrates di atas. Kita mengikuti PPGP ini bukan semata supaya kita tidak malu masih bodoh sampai tua. Apalagi masih banyak diantara kita peserta diklat PPGP yang masih muda. Kita mengikuti program ini karena kita mau berubah. Ada sebuah harapan dan keyakinan bahwa ilmu yang kita dapatkan dari PPGP ini akan berdampak pada berubahnya performa kita di depan kelas.                   


     PPGP menyegarkan kembali pemahaman para guru akan beragam dan uniknya murid yang dihadapi dalam kelas. Keragaman dan keunikan yang ada berdampak pada beragamnya juga kebutuhan belajar murid. Di sinilah tantangannya. Kita para guru berusaha untuk sedapat mungkin bisa memenuhi kebutuhan belajar murid di tengah keragaman dan keunikan yang ada. Untuk tujuan inilah PPGP menawarkan konsep pembelajaran berdiferensiasi.


      Pembelajaran berdiferensiasi saja tidak cukup. Pembelajaran berdiferensiasi hanya menyasar ranah kognitif murid. Masih ada ranah lain yang sangat penting untuk dibentuk yaitu  hati para murid. Aristoteles mengatakan bahwa,“ mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah pendidikan sama sekali.” Pernyataan filsuf besar ini menunjukkan bahwa mendidik hati para murid adalah sesuatu yang sangat penting bahkan tidak berlebihan rasanya jika saya katakana jauh lebih penting dari pada mendidik pikiran. Bagi saya pikiran/kognitif murid akan dengan mudah dibentuk jika hatinya sudah dibentuk. Menurut saya di sinilah kita para CGP penting memahami Modul 2.2 : Pendidikan Sosial Emosional. 


   Lebih jauh dari itu PPGP juga menghadirkan sebuah pemahaman bahwa guru adalah mitra belajar bagi murid. Banyak hal yang murid harapkan dari seorang guru. Sebagai mitra, maka idealnya guru harus tahu situasi muridnya. Di sini izinkan saya untuk mengatakan bahwa guru harus menjadi sosok yang dirindukan murid. Kehadiran guru di hadapan murid harus selalu menjadi susuatu yang “ dinginkan”. Dalam artian bahwa murid merasa ada sesuatu yang hilang jika gurunya tidak hadir. Pada saat tertentu guru juga harus menjadi tempat bagi murid untuk menyampaikan masalah yang mungkin sedang dihadapinya. Di sini saya mengutip apa yang disampaikan oleh instruktur Modul 2.2  dalam sesi Elaborasi Pemahaman. Dalam kesempatan tersebut beliau mengatakan bahwa,“Jika setelah sekian tahun Bapak/Ibu menjadi guru belum seorang pun murid nyampahkepada Bapak/Ibu itu artinya murid tidak mempercayai Bapak//Ibu . Bapak/Ibu bukanlah sosok yang dirindukan murid. “Nyampah” di sini adalah akronim dari “menyampaikan masalah.”  Sebagai mitra kita harus tahu apa masalah murid kita, apalagi karena kita adalah “ orang tua” bagi murid. 


   Satu hal menarik dari PPGP ini adalah diangkatnya kembali soal Prapta Triloka atau yang lebih akrab kita kenal dengan sebutan Trilogi Pendidikan KHD. Memang harus kita akui bahwa berbicara soal pendidikan berarti kita harus menyebut satu nama yaitu Ki Hajar Dewantara (KHD). Menyebut nama KHD, maka kita kemudian sampai pada ajaran atau saya lebih senang menyebutnya warisan luar biasa besar KHD bagi fondasi Pendidikan bangsa ini yaitu apa yang kita kenal sebagai Trilogi Pendidikan. Sehebat-hebatnya guru adalah yang memahami dan mampu menerapkan Trilogi Pendidikan ini. Mereka yang berada di depan menjadi teladan, di tengah membangun motivasi, dan di belakang memberi dorongan.


      Mungkin kita dalam kata-kata sudah memberi motivasi dan dukungan. Satu yang masih menjadi pertanyaan adalah soal keteladanan. Ilmu pengetahuan atau materi pelajaran bisa murid dapatkan dari berbagai sumber belajar dengan cara murid sendiri. Teknologi zaman ini  memberikan begitu banyak kemudahan untuk itu. Satu hal yang tidak bisa dicari sendiri oleh murid yaitu keteladanan. Sumber satu-satunya keteladanan bagi murid (dalam konteks pendidikan) adalah guru. Teknologi tidak akan pernah menggantikan peran guru dalam hal keteladanan. Tentu kita masih ingat sebuah pepatah lama yang mengatakan bahwa,“Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”  Murid yang berkarakter baik hanya bisa dihasilkan oleh guru yang telah menunjukkan teladan yang baik pula.      


     Pemerintah memberi tantangan baru bagi guru masa kini yaitu menghasilkan murid yang berprofil Pancasila. Kita mendidik murid sesuai kodrat dan zamannya. Murid yang kita didik hari ini harus berwawasan abad 21. Hal ini sejalan dengan mimpi besar pemerintah untuk menghasilkan generasi emas pada tahun 2045 nanti. Namun seperti apapun zamannya murid harus menjadi pribadi yang berkarakter Indonesia yaitu dalam dirinya tertanam nilai-nilai Pancasila. Murid kita diharapkan tumbuh menjadi pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa dan berakhlak mulia. Tumbuh menjadi insan yang mandiri. Menghidupi nilai gotong-royong dalam kesehariannya. Tumbuh menjadi pribadi yang saling menghormati adanya keberagaman dan toleransi terhadap perbedaan atau singkatnya berkebinekaan global. Tumbuh menjadi pribadi yang bernalar kritis yaitu menjadi pribadi yang mampu berpikir logis dan sistematis ketika mengambil keputusan atas permasalah yang dihadapinya. Tumbuh menjadi pribadi yang kreatif, yaitu menjadi manusia yang memiliki daya cipta atau menjadi manusia  atau memiliki kemampuan untuk menciptakan. Tantangan besar kita adalah menjauhkan murid kita dari pola pikir cari gampang (easy going).


    Senada dengan tantangan di atas,  Kepala Dinas PKO Kabupaten Manggarai Barat dalam Sesi Pembukaan Lokakarya 4 CGP Angkatan 7 pada tanggal 15 April 2023 memberi tantangan yang menurut saya sangat menarik dan sekaligus sangat menantang. Dalam kesempatan tersebut beliau mengatakan bahwa,“para guru harus mampu menghasilkan generasi pemecah masalah bukan generasi penghafal/pengingat.”  Generasi pemecah masalah adalah mereka yang bernalar kritis dan kreatif. Mereka yang meyakini bahwa kemandirian adalah nilai yang harus terus dihidupi.


      Ini semua adalah asa sekaligus tantangan yang ditempatkan pada pundak kita CGP. Pertanyaannya sekarang adalah,“ Mampukah kita menjawab tantangan ini?” Mari kita menjawabnya dengan cara kita masing-masing.  



Writter|| Pius Pesau

Redaksi|| Stano