Opini: Keyakinan Kelas Alternatif Pembentukan Karakter Siswa|| Zakarias Bagung

OLEH: ZAKARIAS BAGUNG
Guru SDK Compang, Kabupaten Manggarai Barat

Foto Zakarias Bagung

INFOSMPN3PACAR.COM- Dominasi model pendidikan kita selama ini selalu mengarah kepada pembentukan ranah kognitif dibandingkan dengan ranah afektif dan psikomotor. Esensi dari pembentukan karakter siswa seyogianya terletak pada pembentukan ranah afektif dan psikomotor daripada kognitif. Hal ini terbukti dari beragam persoalan yang terjadi di sekolah, diantaranya adalah perundungan, tawuran antarpelajar, menyotek, tidak masuk sekolah tanpa alasan, dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk pelanggaran ini menyadarkan kita semua, bahwa model pendidikan kita belum menyentuh ranah karakter siswa yang sesungguhnya.

     Pendidikan karakter sesungguhnya adalah bagaimana pendidikan karakter itu dilaksanakan sebagaimana mestinya. Komarudin Hidayat berpendapat bahwa,”Pentingnya membangun budaya sekolah dalam membentuk karakter siswa.” Suyadi (dalam Komarudin Hidayat, 2018) berpendapat bahwa,”Membangun budaya sekolah dapat menjadi alternatif bagi pembangunan karakter siswa.” Lebih lanjut, Suyadi (dalam Sudrajat, 2018) mengatakan bahwa,”Budaya sekolah yang dimaksud adalah nilai-nilai, norma, aturan moral, kebiasaan yang telah berlangsung sejak lama sehingga secara alamiah membentuk perilaku dan hubungan-hubungan di dalamnya.”

     Salah satu langkah konkrit dari penerapan budaya positif di lingkungan sekolah adalah penerapan keyakinan kelas. Landasan dari penerapan keyakinan kelas adalah disiplin positif dan nilai-nilai kebajikan universal. 

Menurut Ki Hajar Dewantara, di mana ada kemerdekaan, di situlah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ‘self discipline’ yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka (Kemdikbudristek, 2022: 15). 


Ki Hajar Dewantara menambahkan bahwa untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri. Sedangkan definisi merdeka menurut Ki Hajar Dewantara adalah,”Tidak hanya terlepas dari perintah, akan tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri (Kemdikbudristek, 2022: 15).


    Langkah sederhana dalam menerapkan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah dengan menanamkan budaya positif pada peserta didik melalui berbagai program di sekolah yang dapat mendukung terwujudnya penanaman budaya positif. Hal sederhana yang dapat dilakukan dalam menanamkan budaya positif adalah dengan membuat “kesepakatan kelas.”

    Kesepakatan kelas adalah pernyataan tujuan bersama dan standar perilaku antara siswa dan guru dalam lingkungan kelas. Kesepakatan kelas dapat membantu membentuk lingkungan kelas yang kondusif dan mendorong rasa saling menghormati, kerja sama, dan serta mendukung tumbuhnya budaya positif. Kesepakatan kelas merupakan hasil kolaborasi bersama antara guru dan siswa di dalam kelas. Kesepakatan kelas berisi beberapa aturan untuk membantu guru dan siswa bekerja bersama membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap siswa, tapi juga harapan siswa terhadap guru serta harapan guru dan siswa terhadap proses pembelajaran yang berlangsung. Kesepakatan disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan siswa. Kesepakatan kelas menuntun nilai-nilai positif yang akan berujung pada keyakinan kelas. Oleh karena itu, kesepakatan kelas sedikit berbeda dari peraturan yang lazim dibuat oleh satuan pendidikan yang mengikat perilaku guru maupun siswa. 

    Peraturan artinya,”Taatan atau petunjuk, kaidah, ketentuan, yang dibuat untuk mengatur (KBBI,2008:1019).” Peraturan berfungsi untuk mengatur hidup dan memaksa semua pihak untuk mengikutinya agar kehidupan menjadi lebih teratur. Konseksuensi dari tidak mengindahkan peraturan adalah sangsi atau hukum tertentu sesuai dengan pelanggarannya. Dampak dari penerapan peraturan tersebut pada pembentukan karakter siswa selama ini hasilnya tidak mengalami perubahan yang signifikan, karena tidak lahir dari kesadaran diri siswa melainkan pemaksaan yang berasal dari luar dirinya. Oleh karena itu, keyakinan kelas sangat dibutuhkan untuk membentuk karakter siswa. 

     Keyakinan kelas merupakan kesepakatan kelas yang diyakini bersama oleh guru dan siswa selama proses pembelajaran. Keyakinan kelas menjadi dasar dari peraturan kelas yang dibuat dengan kesepakatan bersama antara guru mata pelajaran maupun guru kelas dengan siswa di kelas. Keyakinan kelas dibuat berdasarkan kebajikan universal yang diyakini bersama untuk menumbuhkan nilai-nilai positif pada siswa. maka pelanggaran atas kesepakatan kelas akan tetap memberikan konsekuensi yang juga disepakati bersama. Keyakinan kelas dapat menjadi batasan dan acuan selama proses pembelajaran , agar dapat menumbuhkan nilai positif pada siswa yang kemudian akan berkembang menjadi budaya positif bagi lingkungan.

  Katalisator penciptaan lingkungan positif merupakan tanggung jawab seorang pendidik sebagai pemimpin pembelajaran. Melalui keyakinan kelas akan tercipta suatu lingkungan yang aman dan nyaman bagi peserta didik untuk berproses dan belajar, sehingga mereka mampu menerima dan menangkap pembelajaran dengan baik. Dalam suasana yang aman dan nyaman itulah ranah afektif dan psikomotorik siswa akan berkembang dengan sendirinya, karena lingkungan positif mendukung seluruh proses belajarnya. Niscaya, karakternya pun berkembang sejalan dengan pengembangan potensi dirinya. 

Dalam rangka menciptakan lingkungan yang positif maka setiap warga sekolah dan pemangku kepentingan perlu saling mendukung, menghayati, dan menerapkan nilai-nilai kebajikan yang telah disepakati bersama. Untuk dapat menerapkan tujuan mulia tersebut, maka seorang pemimpin pembelajaran perlu berjiwa kepemimpinan sehingga dapat mengembangkan sekolah dengan baik agar terwujud suatu budaya sekolah yang positif sesuai dengan standar kompetensi pengelolaan yang telah ditetapkan. Tujuan mulia dari penerapan disiplin positif adalah agar terbentuk murid-murid yang berkarakter, berdisiplin, santun, jujur, peduli, bertanggung jawab, dan merupakan pemelajar sepanjang hayat sesuai dengan standar kompetensi lulusan yang diharapkan (Kemdikbudristek, 2022: 22).

   Kutipan di atas menegaskan bahwa, semua warga sekolah mempunyai motivasi dan keyakinan yang sama tentang nilai-nilai kebajikan universal tersebut yang merupakan landasan berperilaku dalam suatu lingkungan. Dengan kata lain, semua warga sekolah memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal. Hasil dari disiplin positif yang bersifat internal itulah yang akan membentuk mental, cara berpikir, bertindak dan bersikap, atau lebih tepatnya adalah berkarakter baik.

    Dengan demikian, salah satu tanggung jawab seorang guru sebagai pemimpin pembelajaran adalah bagaimana mendesain suatu lingkungan positif mulai dari kelas hingga seluruh lingkungan sekolah, di mana seluruh ekosistem sekolah harus saling mendukung, saling belajar, saling bekerja sama sehingga tercipta kebiasaan-kebiasaan baik, dari kebiasaan-kebiasaan baik akan tumbuh menjadi karakter-karakter baik warga sekolah, dan pada akhirnya karakter-karakter dari kebiasaan-kebiasaan baik akan membentuk sebuah budaya positif.

Daftar Pustaka

KBBI, 2008.Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional

Kemendikbudristek, 2022. Bahan Ajar Program Pendidikan Guru Penggerak: Paradigma Visi Guru Penggerak Modul 1.4 Budaya Positif. Jakarta: Kemendikbudristek. 

Suyadi. 2018. Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah, Yogyakarta: Mentari


Writter || Zakarias Bagung
Redaksi|| Stano