Namanya Cinta, berperawakan ceria. Cita-citanya sederhana: menjalin cinta dengan orang yang dicinta! Sepertinya jalan hidup tidak sesuai cita. Ia mendiamkan diri, sebab citanya tidak sesuai cinta yang dipikirnya. Apalagi, hari itu, saat ia sedang bermesra dengan cintanya, diterimanya pesan dari ayahnya: kamu dijodohkan!
Pesan itu tampak sederhana, tapi maknanya tidak bisa diterka. Pergolakan membahana, ada ketidaksetujuan, tapi perkataan orang tua tidak bisa ditolak begitu saja.
Ia galau dalam pikirannya yang kacau. Antara cinta atau kemauan orang tua.
"Jika engkau ingat pengorbananku, jangan berkata tidak keputusanku," kata ayahnya.
"Katakan kamu setuju," desak ibunya.
Tidak ada waktu untuk ia memperdebatkan itu. Ia pasrah. Kekacauan makin membesar, ketika Tegar, sang kekasih, mendesak agar hubungan mereka segera dikabarkan kepada orang tua. Kebimbangan menjadi raja yang tak terbantah. Antara Tegar atau pilihan orang tua?
Pilihan terakhir, mengikuti orang tua, biar tak dianggap durhaka, meski itu tidak sesuai cita. Dengan terpaksa, ia kabarkan duka kepada cintanya, Tegar.
Tibalah hari pertunangan. Hal yang tidak diduga, ketika sang pria menunjukkan muka. Astaga, si Tegar tiba, dengan dandanan menyerupai raja. Cinta tertawa, memeluknya dan berkata,"Kita ditakdirkan bersama."
Tegar tersenyum dalam kepahitan yang melanda. Seorang pria dengan dandan bagai raja datang,"Kisahmu sampai di sini," katanya. Tegar undur pulang. Dandannya berantakan. Kisanya teraniaya, sebab perjodohan tak bisa dihalang.
Writer|| Marianus Hamse, S.Pd,Gr
Redaksi|| Stano